A. Setting
Lingkungan Sosial
Observasi
tentang interaksi antara santri yang berasal dari pesantren dan non-pesantren
ini dilakukan di kawasan UIN Maliki
Malang. UIN Maliki Malang merupakan
sebuah universitas yang
mewajibkan mahasiswa barunya untuk tinggal di asrama atau ma’had yang terletak di dalam
kampus. UIN Maliki Malang mempunyai asrama atau yang lebih
dikenal dengan Ma’had Sunan Ampel Al-Aly. Di dalam Ma’had Sunan Ampel Al-Aly,
terdapat lima mabna putra dan empat mabna putri.
Lingkungan sosial di Ma’had Sunan Ampel
Al-Aly sangat kental dengan nilai-nilai keagamaan. Banyak
kegiatan keagamaan yang sering dilakukan di mabna.
Dalam kegiatan
observasi ini, penulis memusatkan pada salah satu mabna
putri dimana tempat penulis tinggal yaitu mabna Ummu
Salamah. Mabna Ummu Salamah
merupakan salah satu mabna putri yang
ada di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly. Lingkungan sosial mabna
Ummu Salamah tidak begitu jauh dari lingkungan sosial mabna-mabna
yang lain. Di mabna inilah mahasiswa
baru semester satu dan dua diajarkan tentang nilai-nilai sosial, khususnya nilai keagamaan. Pengajaran nilai-nilai
sosial ini
diwujudkan dalam berbagai macam kegiatan di mabna.
Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi shobaghul
lughoh (pagi bahasa), taklim afkar,
taklim Al-quran, tahsih Al-quran, tahsin Al-quran, solat
berjamaah, dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan yang
bernafaskan Islam.
Selain
kegiatan-kegiatan mabna tersebut,
lingkungan sosial mabna Ummu Salamah
sangat beranega ragam. Keaneka ragaman ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya perbedaan latar belakang mahasantrinya. Perbedaan latar belakang
mahasantri ini meliputi perbedaan latar belakang pendidikan, perbedaan ekonomi,
perbedaan asal daerah, serta perbedaan kebudayaan.
B.
Latar
Belakang Kehidupan Sosial Subyek (Mahasantri yang Berasal dari Pesantren dan
Non-Pesantren)
Mahasiswa baru yang tinggal di mabna atau yang sering disebut dengan mahasantri mempunyai latar
belakang yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut
diantaranya karena faktor perbedaan latar belakang pendidikan, ekonomi, asal
daerah, hingga perbedaan kebudayaan. Dalam melakukan observasi ini, penulis
memusatkan pengamatan pada perbedaan latar belakang pendidikan mahasantri.
Secara umum, perbedaan latar belakang pendidikan mahasantri Ummu Salamah adalah
dari pesantren dan non-pesantren. Perbedaan
latar belakang inilah yang menyebabkan penulis tertarik untuk mengobservasi lebih lanjut.
Mahasantri
yang berasal dari pesantren merupakan mahasantri yang sebelum masuk ke mabna, ia pernah mengenyam pendidikan di
pesantren baik pesantren modern ataupun pesantren salafiyyah. Latar belakang mahasantri ini untuk masuk
pesantren itupun dulunya bermacam-macam. Ada mahasantri yang dulu masuk pesantren karena
keinginan orang tua dan ada juga mahasantri yang masuk pesantren karena
keinginannya sendiri untuk menuntut ilmu di sana. “Bagi saya kehidupan
pesantren itu menyenangkan, di sana kita bisa punya banyak teman yang senasib
dan seperjuangan” ujar Maula, salah satru mahasantri yang
berasal dari pesantren. Sedangkan hal
yang berbeda diungkapkan oleh salah satu mahasantri yang berasal dari
pesantren, “Saya masuk pesantren karena keinginan orang tua. Orang tua saya
memasukan saya ke pesantren karena keluarga saya semua lulusan pesantren sehingga
orang tua saya ingin saya belajar di pesantren juga”.
Selain mahasantri yang berasal dari pesantren, ada
juga mahasantri yang berasal dari non-pesantren. Latar belakang mahasantri yang
berasal dari non-pesantren juga bermacam-macam. Ada mahasantri yang dulunya
tinggal di rumah bersama keluarga dan ada juga yang tinggal di lingkungan kost.
“Meskipun SMA saya jauh dari rumah, tapi saya tidak pernah mondok. Dulu saya
tinggal di kost yang dekat dengan sekolah saya” ujar Septa, salah satu
mahasantri yang berasal dari non-pesantren. Hampir
sama dengan mahasantri yang berasal dari pesantren, mahasantri yang pernah
berdomisili di kost secara tidak langsung
mereka juga dibekali keterampilan bersosialisasi dengan teman sebaya,
terutama di lingkungan teman satu kamar.
Selain itu, ada juga mahasantri yang berasal dari non-pesantren yang tidak
pernah mengenyam lingkungan pesantren maupun kost, mereka ini tinggal di lingkungan keluarga atau
rumah. “Saya tidak pernah mondok sebelum masuk mabna, saya tinggal di rumah bersama ayah, ibu, dan kedua adik
saya”, ujar Zahra, salah satu santri yang berasal dari lingkungan
non-pesantren.
C.
Gambaran
Realitas Sosial
Berdasarkan
hasil wawancara dan observasi yang penulis lakukan, dapat diketahui bahwa sebagian
besar mahasantri yang berasal dari pesantren cenderung lebih percaya diri dan
aktif dalam mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di mabna. Mereka merasa sudah terbiasa dengan kegiatan-kegiatan yang
bernafaskan Islam seperti itu sehingga mereka tidak merasa terlalu kesulitan
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan mabna.
Selain itu, dalam hal berinteraksi dengan teman, sebagian besar dari mereka
juga percaya diri dan mudah bergaul. Hal ini dikarenakan ketika mereka tinggal
di pesantren mereka sudah dibiasakan dengan lingkungan sosial yang beraneka
ragam.
Di
sisi lain, sebagian besar mahasantri yang berasal dari non-pesantren kurang
percaya diri dalam mengikuti kegiatan-kegiatan mabna. Ada beberapa yang merasa minder karena belum terbiasa dan merasa
belum menguasai materi-materi yang disampaikan di mabna. Ada juga yang merasa malas mengikuti kegiatan mabna yang sangat padat. Selain itu,
dalam hal berinteraksi dengan teman, ada mahasantri dari non-pesantren yang mudah
melakukan interaksi dengan teman yang lain baik yang dari pesanten maupun
dengan sesama non-pesantren. Meskipun ada juga mahasantri yang berasal dari
non-pesantren yang masih kesulitan dalam hal berinteraksi dengan temannya
karena berbagai macam alasan. Alasan-alasan tersebut diantaranya mereka merasa
canggung untuk berinteraksi karena mereka tidak terbiasa hidup bersama dengan
orang banyak, selain itu ada juga yang merasa tidak sepemahaman dengan
teman-teman yang berasal dari pesantren sehingga ia enggan untuk berinteraksi
dengan teman yang lain.
D.
Bentuk-bentuk
Permasaahan Sosial
Didalam sebuah perkumpulan apapun, pasti terdapat
masalah-masalah baik masalah kecil maupun masalah yang besar. Ini juga terjadi
di mabna Ummu Salamah. Masalah yang
dapat muncul didalamnya, adalah masalah
kesenjangan sosial antarmahasantri, terutama mahasantri yang berasal dari
pesantren dan mahasantri yang berasal dari non-pesantren. Mahasantri yang
berasal dari pesantren cenderung lebih aktif dan mendominasi kegiatan-kegiatan di
mabna. Sedangkan sebagian besar
mahasantri yang berasal dari non-pesantren lebih pasif dalam kegiatan-kegiatan mabna.
Selain
itu, dalam hal berinteraksi dengan sesama mahasantri juga terdapat permasalahan
sosial. Sebagian besar mahasantri yang berasal dari pesantren lebih mudah
bergaul dari pada mahasantri yang berasal dari non-pesantren. Dari kesenjangan
sosial dan proses interaksi antara mahasantri yang berasal dari pesantren dan
non-pesantren itupun juga dapat menimbulkan permasalahan sosial. Salah satu
masalah sosial yang terjadi adalah ketika berinteraksi terkadang ada
ketidaksesuaian pemahaman antara mahasantri yang berasal dari pesantren dan
non-pesantren sehingga dapat menyebabkan konflik antarteman.
E.
Penyebab
Munculnya Masalah Sosial
Permasalahan
ini timbul karena adanya kesenjangan diantara mereka. Mahasantri yang berasal dari pesantren cenderung
lebih aktif dalam mengikuti kegiatan mabna karena mereka sudah terbiasa dengan
lingkungan sosial yang kental dengan nilai-nilai keagamaan. Seperti yang diungkapkan Maula, salah satu alumni
Pondok Pesantren Al-Rifa’i, “Ketika di pondok dulu saya sudah terbiasa dengan kegiatan-kegiatan
pondok, jadi sekarang saya tidak begitu kesulitan untuk beradabtasi dengan
kegiatan di mabna”. Selain itu, dalam
hal bergaul dengan teman sebaya, mahasantri yang berasal dari pesantren juga
sudah terbiasa dengan kehidupan bersama. Di pesantren, baik secara langsung
maupun tidak langsung mereka sudah dilatih untuk terampil berkomunikasi dengan
teman karena lingkungan sosial mereka sangat mendukung untuk terjadi interaksi
antarteman.
Sedangkan
mahasantri yang berasal dari non-pesantren yang kurang terbiasa dengan
lingkungan sosial yang ada di mabna
sebagian besar mengaku sedikit kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan
maupun berinteraksi dengan teman. Awalnya mereka merasa canggung untuk
berinteraksi dengan teman yang lain, terutama ketika berinteraksi dengan teman
yang dari pesantren. Sebagian besar dari mereka merasa minder untuk
berinteraksi dengan teman yang berasal dari pesantren karena mereka beranggapan
bahwa teman dari pesantren itu pasti pintar-pintar. Meskipun ada beberasa
mahasantri yang berasal dari non-pesantren yang merasa biasa saja dan tidak
canggung dalam berinteraksi dengan teman yang lain.
Interaksi antrara mahasantri yang berasal dari
pesantren dan non-pesantren ini sangat menarik. Di satu sisi ada mahasantri
yang berasal dari pesantren yang sudah terbiasa dengan kegiatan-kegiatan
keagamaan atau taklim-taklim yang bernafaskan Islam. Selain itu mereka juga
terbiasa hidup bersama orang banyak. Namun di sisi lain, juga terdapat
mahasantri yang berasal dari non-pesantren di mana mereka tidak terbiasa
mengikuti kegiatan-kegiatan khas pesantren.
Karena perbedaan latar belakang pendidikan mereka, maka akan memunculkan
permasalahan sosial.
F.
Dampak
Riil Masalah Sosial dalam Kehidupan Sosial Masyarakat
Dari beberapa konflik atau masalah-masalah diatas, maka
dapat diperoleh dampak bagi mabna
Ummu Salamah. Dampak permasalahan sosial yang terjadi di mabna Ummu Salamah ini secara umum dibagi menjadi dua, yaitu dampak
negatif dan dampak positif. Dampak negatif yang timbul pertama adalah adanya
sedikit kerenggangan hubungan antara beberapa mahasantri yang berasal dari
pesantren dan non-pesantren. Yang kedua, sebagian besar mahasantri
yang berasal dari pesantren mendominasi kegiatan-kegiatan di mabna sedangkan mahasantri yang berasal
dari non-pesantren secara tidak langsung merasa minder
dan semakin pasif dengan kegiatan mabna. Sedangkan dampak posotif yang
muncul dari masalah tersebut diantaranya beberapa mahasantri yang berasal dari
non-pesantren merasa terbantu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan mabna karena proses
sosialisasi dari teman sebaya, yaitu teman yang berasal
dari pesantren. “Awal tinggal di sini saya merasa sangat tidak nyaman dengan
kegiatan yang bagi saya masih asing, tetapi saya punya teman yang bisa saya
ajak sharing tentang pelajaran dan kegiatan di mabna jadi saya merasa terbantu
dalam mempelajari pelajaran yang diajarkan di mabna”. Ujar salah satu
mahasantri yang berasal dari non-pesantren.
ANALISA, PEMBAHASAN DAN
SOLUSI
Pada
teori yang penulis jelaskan sebelumnya, menurut Gillin dan Gillin (1954),
interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia. Begitu juga
dengan mahasantri yang berasal dari pesantren dan non-pesantren di Mabna Ummu Salamah. Interaksi ini dilakukan oleh mahasantri yang berasal
dari pesantren dan non-pesantren. Interaksi ini sangat
menarik karena perbedaan latar belakang pendidikan dan lingkungan tempat
tinggal mereka.
Jika dalam teori kita disuguhi dengan teori tentang
sosiologi atau ilmu tentang kemasyarakatan, maka dalam Mabna Ummu
Salamah mencoba memberikan
bentuk-bentuk interaksi antara mahasantri yang berasal
dari pesantren dan non-pesantren. Salah satu faktor yang melatarbelakangi
interaksi ini terjadi karena mereka ditempatkan pada satu kamar, sehingga mau
tidak mau mereka akan berinteraksi.
Selain itu, interaksi antarmahasantri ini juga bisa terjadi ketika ada
kegiatan-kegiatan mabna terutama
kegiatan belajar mengajar yang di dalamnya mahasantri di tempatkan pada
kelas-kelas tertentu.
Bentuk-bentuk
interaksi itupun bermacam-macam. Ada yang melakukan kerjasama, contohnya
melakukan kerja sama dalam mengikuti lomba-lomba serta kegiatan yang diadakan mabna. Tidak jarang pula interaksi yang berbentuk persaingan,
persaingan di sini biasanya terjadi di dalam kegiatan mabna yang berbentuk belajar mengajar di dalam kelas-kelas di mabna. Dalam bentuk interaksi ini,
terjadi persaingan antarmahasantri dalam menguasai materi yang disampaikan.
Hasil
interaksi antara mahasantri yang berasal dari pesantren dan non-pesantren ini
bermacam-macam. Sebagian besar mahasantri merasakan dampak yang positif dari
interaksi tersebut. Mahasantri yang berasal dari non-pesantren merasa terbantu
dengan mereka berinteraksi dengan mahasantri yang berasal dari pesantren.
Mereka menilai, dengan berinteraksi dengan teman sebaya yang berasal dari
pesantren akan membantu mereka dalam proses pembelajaran dan mengikuti
kegiatan-kegiatan di mabna. Hal ini
dikarenakan seperti yang kita ketahui bahwa lingkungan mabna Ummu Salamah sangat kental dengan nilai-nilai keislaman
sehingga bagi sebagian mahasantri yang berasal dari non-pesantren merasa
terbantu dengan teman yang berasal dari pesantren yang lebih memahami suasana mabna.
Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi antara mahasantri yang berasal dari
pesantren dan non-pesantren terkadang juga memunculkan konflik. Konflik
kesenjangan sosial antara mahasantri yang berasal dari pesantren dan
non-pesantren salah satunya. Mahasantri yang berasal dari pesantren sebagian lebih mendominasi
kegiatan-kegiatan di mabna daripada
mahasantri yang berasal dari non-pesantren. Selain itu, ada juga konflik
antarindividu, yaitu konflik antara mahasantri yang berasal dari pesantren dan
non-pesantren. Konflik ini muncul biasanya dilatarbelakangi oleh ketidak
sepemahaman mengenai suatu hal.
Sebuah masalah pasti akan ada dampaknya. Pertama, beberapa
mahasantri yang berasal dari non-pesantren cenderung malas dan minder dalam
mengikuti kegiatan-kegiatan mabna. Yang kedua, sedikit renggangnya hubungan antara mahasantri
yang berasal dari pesantren dan non-pesantren ketika tidak ada kesepahaman, itupun hanya bertahan beberapa jam saja atau paling
lama satu hari.
Dengan adanya masalah-masalah tersebut, penulis berharap
antara mahasantri yang berasal dari pesantren
dan non-pesantren saling membuka
diri agar dapat menerima setiap kelebihan daan kekurangan masing-masing
individu. Selain itu, pihak mabna juga mengklasifikasikan kelas-kelas yang ada dalam kegiatan
belajar mengajar mahasantri sesuai
dengan kemampuan mereka sehingga tidak ada
kesenjangan yang begitu berarti. Selain itu, hendaknya diberikan pelajaran
tambahan atau bimbingan tambahan bagi mahasantri yang berasal dari
non-pesantren sehingga mereka bisa menyetarakan kemampuan mereka terutama dalam
bidang akademik dan keaktifan di mabna.
Daftar Pustaka:
Giddens, Anthony. 1993.
New Rules of Sociological Method: A
Positive Critique
of Interpretative
Sociologies. California: Standford University Press.
Gillin,
John.1954. Cultural
Sociology. New York: The Macmillan Company.
Henslin, James. 2006. Essentials of Sociology. New Jersey:
Pearson Education.
Jones, Pip. 2003. Introducing Social Theory. Cambridge: Polity Press.
Ritzer, George. 2003. Modern Sociological Theory, 6th Edition. New
York:
McGraw-Hill.
Ritzer, George. 1980. Sociology: A Multiple Paradigm Science. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon, Inc.
1 komentar:
Ini tugasnya pak yahya ya?
Posting Komentar