Sabtu, 23 Februari 2013

Keluargaku Hartaku

Diposting oleh Unknown di 03.09


Setting Panggung
Di ruang makan yang lengkap dengan meja makan, piring, mangkuk, dan lain sebagainya,
terdengar suara Ketty yang mengeluh kepada Pak Stiven tentang keadaannya yang sekarang. Sebagai keluarga yang mendadak miskin, ia merasa tidak terbiasa dengan kehidupannya yang serba kekurangan. Kehidupan keluarga Pak Stiven yang dulu mewah kini berubah menjadi serba kekurangan. Suatu pagi, Pak Stiven dan Katiyem alias Ketty sedang sarapan di ruang makan rumah kontrakan sederhana mereka.

Katiyem
Makanan apa ini? Cuma sama tempe aja, mana kecil banget lagi.
Pak Stiven
Sudah Nak, makan saja, masih mending kita bisa makan, dari pada gak bisa makan.
Katiyem
Makan sih makan, Pa. Tapi makanan apa ini? Aku mau menu makanan kita yang dulu. Ayam panggang dan jus apel kesukaanku.
Pak Stiven
(dengan nada membentak) Sudahlah jangan banyak bicara, cepat makan lalu berangkat sekolah!
Katiyem
(dengan wajah cemberut mengambil tas jeleknya) Kalau begini terus aku gak nafsu makan. Yasudah, aku berangkat sekolah aja. Mana uang jajannya?
Pak Stiven
(mengambil uang dari sakunya dan memberikannya kepada Katiyem).
Katiyem
(dengan wajah terkejut) Ha? Cuma lima ribu rupiah. Gimana bisa, biasanya kan uang jajanku lima puluh ribu, Pa!
Pak Stiven
Kamu harusnya ngerti dong gimana keadaan keluarga kita sekarang. Kita sedang susah, Nak. Papa belum punya pekerjaan tetap.
Katiyem
Ah ya sudah, memang Papa sekarang kere. Aku benci Papa!
Pak Stiven
(mengelus dada) Astaghfirullahal’adzim.
Ketika berjalan menuju ke sekolah, Katiyem bertemu dengan Nela, teman sekelasnya.
Nela
Hay Katiyem, dimana mobilmu? Kenapa jalan? Mobilmu sudah terjual ya buat ngelunasin utang-utang Bapak kamu? Oh iya, aku dengar kamu sekarang pindah rumah ya? Gimana rumahmu yang sekarang? Bagus tidak? Boleh aku main ke sana? (dengan senyuman sinis).
Katiyem
Mobilku ada di bengkel. Dan kalau aku pindah rumah memangnya kenapa? Kamu iri ya padaku karena rumahku yang sekarang jauh lebih mewah dari rumahmu?
Nela
Oh ya? Bukannya seorang Ketty, eh salah, Katiyem maksudku, yang terkenal kaya raya dengan perusahaan sandal jepitnya itu jadi mlarat ya? Dan bukannya semua harta bendanya ludes terjual. Bahkan sekarang keluarga Stiven Kuncoroningrat itu sudah kere. Aduh kasih banget sih. Kayaknya kamu sudah gak cocok deh tinggal di desa ’Suka Makmur’ ini, bisa-bisa desa ’Suka Makmur’ yang sudah susah payah dibuat bisa ganti nama ’Suka Mlarat’ gara-gara ada kamu (sambil menertawakan Ketty).
Katiyem
(melotot ke arah Nela) Heh, jaga ucapan kamu ya! Kalau memang iya kenapa? Masalah buat loe?
Nela
Haha, akhirnya ngaku juga kalau sekarang kamu itu kere.
Katiyem
Terserahlah, aku gak punya waktu buat nanggepin orang kayak kamu (sambil bergegas pergi meninggalkan Nela).
Lain Katiyem, lain Bu Fitri, ibu Katiyem. Di rumah kontrakannya yang serba sederhana itu, Bu Fitri mengeluh pada Pak Stiven. Nampaknya Ibu Fitri pun mulai jenuh dengan ejekan tetangga.
Bu Fitri
(duduk di sebelah Pak Stiven) Pa, kapan kita punya rumah yang bagus lagi?
Pak Stiven
Gak tau ah, Ma. Papa pusing (sambil memegang kepalanya).
Bu Fitri
(berdiri dan membentak Pak Stiven) Papa ini gimana sih. Mama pokoknya sudah gak betah kalau Papa nganggur terus! Pokoknya Papa harus seperti dulu lagi yang setiap hari selalu ngasih Mama uang jutaan dan perhiasan tiap minggunya. Titik! Pokoknya ada uang abang sayang. Tak ada uang Abang ku tendang!
Pak Stiven
(berdiri dari kursi lalu mengusap bahu Bu Fitri) Ya sabar Ma, Papa ini juga sudah usaha.
Bu Fitri
Usaha apanya! Mana hasilnya, Pa?
Pak Stiven
(dengan nada membentak) Stop, Ma! Mama ini jangan mengeluh terus. Mama harusnya ngertiin juga dong keadaan Papa. Papa sudah capek-capek mondar-mandir dari satu perusahaan satu ke perusahaan lain buat cari kerja, Ma.
Bu Fitri
Pokoknya aku gak mau tau, aku gak tahan hidup kere, Pa!
Pak Stiven
(sambil meninggalkan Fitri) Gak tau ah, Ma. Aku pusing!.
Bu Fitri
Pa, Papa! (dengan wajah jengkel). Dasar laki-laki, aku belum selesai bicara main ditinggal gitu aja.
Bu Fitri
(melihat tumpukan baju kotor di bak) Apa lagi ini? Cucian numpuk segini banyaknya. Dulu aja kalau ada cucian tinggal masukin ke mesin cuci, kalau pengen rapiin baju tinggal panggil pembantu. Tapi sekarang apa? Haduh kukuku yang susah payah aku rawat sekarang jadi rusak. Belum lagi teman-teman arisan yang sesalu menyindirku. Kenapa semuanya jadi begitu menyebalkan. Kalau begini terus aku mau minta cerai saja sama Papa.
Karena fikirannya sudah kalut, Pak Stiven mengambil jalan pintas. Ia bergegas pergi ke rumah Mbah Darmo, salah satu dukun yang terkenal di desanya.
Pak Stiven
(duduk di depan Mbah Darmo) Permisi Mbah.
Mbah
(bertapa sambil berkomat-kamit) Ada apa kamu datang kemari?
Pak Stiven
Ini Mbah, perusahaan saya bangkrut dan saya sekarang jadi kere. Saya sudah bosan setiap hari diomelin anak istri saya. Mereka selalu mengeluh dengan keadaan kere saya sekarang ini, Mbah.
Mbah
(menganggukkan kepala) O, begitu, jadi intinya apa?
Pak Stiven
Saya, anu Mbah. Sebenarnya saya.... (dengan bahasa terbata-bata).
Mbah
Ingin kaya lagi kan? (menyaut omongan Pak Stiven).
Pak Stiven
(terkejut) Kok tahu? Iya, Mbah. Itu maksud saya.
Mbah
Ya jelas aku tahu. Sudah banyak orang yang datang ke sini untuk meminta kekayaan. Sebenarnya gampang saja kalau ingin kaya. Asalkan kamu menuruti semua persyaratannya.
Pak Stiven
Tentu, Mbah. Apapun akan saya lakukan demi kekayaan itu lagi. Syaratnya apa saja, Mbah?
Mbah
Gampang saja, malam ini juga kamu pergi ke pohon tua di sebelah kuburan. Jangan lupa bawakan sesaji yang berisi bunga tujuh rupa, bangkai ayam kampung, menyan, dupa, dan air dalam kendi. Lalu kamu harus bertapa di bawah pohon itu sampai matahari terbit.
Pak Stiven
Baiklah, Mbah. Saya akan lakukan itu semua. Kalau begitu saya mohon pamit dulu, Mbah. Terima kasih.
Mbah
Iya sama-sama.
Bergegas Pak Stiven pulang dan menyiapkan sesaji. Kemudian ia pergi menuju pohon itu untuk mengantar sesaji dan bertapa.
Pak Stiven
(meletakkan sesaji dan duduk bertapa) Sebenarnya ngeri juga malam-malam begini harus bertapa sendirian, mana dingin lagi. Tapi tak apalah, demi harta untuk anak istriku, aku rela melakukan apa saja.

    Waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB, Pak Stiven memulai pertapaannya. Tak lama kemudian, Ustadzah Udhma dan Nela yang baru pulang dari pengajian melihat Pak Stiven yang sedang bertapa. Mereka terkejut melihat apa yang dilakukan Pak Stiven di sana.
Ustadzah
(terkejut) Astaghfirullah Pak Stiven, apa yang Bapak lakukan di sini?
Pak Stiven
(kaget dan membentak Ustadzah) Kamu ini mengganggu saja. Aku sedang bertapa.
Ustadzah
Bertapa? Bertapa untuk apa, Pak?
Pak Stiven
(berdiri dan membentak Ustadzah Udhma) Untuk kaya. Apa urusanmu. Pergi saja!
Ustadzah
(mengelus dada) Astaghfirullah hal’adzim, Pak Stiven. Itu perbuatan syirik. Dan syirik itu perbuatan dosa, Pak.
Pak Stiven
Dosa? Sudah kamu diam saja. Aku melakukan ini untuk anak istriku. Bukankah aku justru akan mendapatkan pahala kalau aku memberi uang pada mereka.
Ustadzah
Memang, Pak Stiven. Memberi nafkah pada anak istri memang mendapat pahala. Tetapi juga harus dengan cara yang halal. Bukan dengan kesyirikan seperti ini.
Pak Stiven
(diam dan menundukkan kepala).
Nela
Ustadzah, bagaimana kalau aku panggilkan anak dan istri Pak Stiven. Siapa tahu dengan kehadiran anak dan istrinya, Pak Stiven bisa sadar dengan perbuatannya.
Ustadzah
Ide bagus, Nela. Baiklah segera panggilkan mereka.
Nela bergegas menuju rumah Bu Fitri dan Katiyem yang tak jauh dari situ.
Nela
(menggetuk pintu rumah Bu Fitri) Assalamualaikum, Bu Fitri.
Bu Fitri
(membukakan pintu) Waalaikumsalam, ada apa Nela malam-malam ke sini?
Nela
Begini, Bu. Saya melihat Pak Stiven sedang bertapa di bawah pohon dekat kuburan. Dan sekarang Ustadzah Udhma sedang menyadarkannya tetapi belum berhasil. Maka dari itu saya disuruh Ustadzah Udhma untuk mengajak Ibu dan Katiyem ke sana.
Bu Fitri
Apa? Bagaimana mungkin Papa bisa senekat itu. Baiklah, aku panggil dulu Katiyem dan kita pergi ke sana sama-sama.
Bu Fitri
(berteriak) Katiyem, Katiyem.
Katiyem
(muncul dari dalam kamar) Ada apa, Ma. Kenapa teriak-teriak?
Bu Fitri
(menggandeng tangan Katiyem) Ayo ikut Mama dan Nela sekarang. Kita pergi ke
                tempat Papa.
Katiyem
(bingung) Tempat Papa? Memang Papa di mana, Ma?
Bu Fitri
(sambil berjalan menuju tempat Pak Stiven bertapa) Sudah jangan banyak bicara, kamu ikut saja.
Bu Fitri, Katiyem, dan Nela pun berjalan menuju tempat Pak Stiven bertapa. Tak lama kemudian, mereka sampai di pohon besar dekat kuburan dan melihat Pak Stiven yang sedang bertapa.
Bu Fitri
(terkejut) Masya Allah, Papa. Apa yang Papa lakukan di sini?
Pak Stiven
(melihat ke arah Bu Fitri dan kaget) Aaanuu, anu, Ma. Papa sedang mencari uang.
Katiyem
Mencari uang? Kenapa harus dengan cara seperti ini, Pa?
Pak Stiven
Papa sudah bingung, Papa sudah tidak tahu lagi bagaimana cara untuk mendapatkan uang sehingga kita bisa kaya seperti dulu lagi. Papa melakukan ini semua untuk Mama dan Ketty (sambil melihat Bu Fitri dan Ketty).
Ustadzah
Niat Pak Stiven untuk menafkahi keluarga memang baik. Tetapi caranya saja yang salah. Perbuatan ini perbuatan syurik, Pak. Dan Allah sangat membenci perbuatan syirik. Lekas bertaubatlah, Pak.
Pak Stiven
Tapi aku lakukan ini semua demi keluargaku. Aku melakukan ini untuk Mama dan Nela.
Bu Fitri
(menangis) Maafkan aku, Pa. Gara-gara aku Papa jadi melakukan hal seperti ini. Aku memang ingin kehidupan kita seperti dulu, Pa. Tapi jika tuntutan-tuntutanku membuat Papa menjadi seperti ini, aku menyesal, Pa.
Pak Stiven
(menundukkan kepala).
Ketty
(dengan wajah menyesal) Maafkan aku juga, Pa. Aku terlalu banyak menuntut Papa. Aku belum bisa bersikap dewasa dan belum bisa menerima kenyataan. Maafkan aku juga ya, Pa.
Pak Stiven
Maafkan Papa juga Ket, Ma. Papa janji Papa akan berusaha dengan cara yang halal.
Bu Fitri
Mama dan Ketty sayang Papa. Dan kami akan selalu mendukung Papa.
Pak Stiven
(tersenyum) Terima kasih Ma.
Ustadzah
Alhamdulillah.

Sejak saat itu, Pak Stiven, Bu Fitri, dan Ketty sadar, bahwa harta bukanlah segalanya. Tetapi keluargalah yang paling penting. Sedikit demi sedikit mereka mulai menata kembali keadaan ekonomi mereka. Dan akhirnya mereka bisa berjaya seperti sedia kala.

0 komentar:

Posting Komentar

 

My Blog Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting